Bip,bip,bip,bip, bunyi pager menjadi salah satu panggilan untuk memulai aktivitas. Tapi saat isi panggilannya adalah harus menelpon...
Bip,bip,bip,bip, bunyi pager menjadi salah
satu panggilan untuk memulai aktivitas. Tapi saat isi panggilannya adalah harus
menelpon ibu bos, maka sang penyeranta pun sudah mulai harus digantikan oleh
telpon genggam.
Telpon genggam pertama kami adalah motorola 8200 yang kami
beli second dari pedagang hp di daerah andir. Andir adalah salah satu daerah di
Bandung yang ternyata tidak hanya
menyediakan sayuran segar dan bahan
kebutuhan harian tapi juga handphone.
Untuk merogoh kocek membeli handphone baru kami belum
sanggup. Maklumlah, sepasang pengantin baru dengan pekerjaan tidak tetap.
Walhasil melayanglah uang sebesar Rp 1.000.000 saat itu untuk membeli handphone
Motorola 8200 bekas.
Tak perlu baru, yang penting bisa digunakan untuk
berkomunikasi. Maklumlah, saat itu kami sedang terlibat dalam pekerjaan dengan
load tinggi. Untungnya, saya dan suami berada dalam satu projek, sehingga
cukuplah dengan satu handphone maka para bos yang semuanya perempuan itu bisa
menghubungi kami.
Ternyata handphone kami tidak sesuai dengan bualan si
penjual. Kami harus mencharge batre handphone setiap 2 jam, karena batre yang
kami terima ternyata sudah sangat tidak layak pakai. Tapi apa boleh buat, hanya
handphone tersebut yang dapat kami beli saat itu. Walhasil, para bu bos
seringkali mengomel, karena kami sulit dihubungi dan kami sering mencharge
handphone dengan charger yang ukurannya sangat besar.
Tak lama berselang, pekerjaan kami
selesai, dan kami mendapat bonus yang lumayan. Muncullah ide untuk membeli
handphone baru. Datanglah rayuan kakak
ipar yang baru membeli nokia 5110 atau dikenal dengan sebutan nokia pisang dan
handphone sejuta umat . Kebetulan dia sebelumnya sudah membeli handphone
tersebut. Suamiku tergiur dengan handphone tersebut yang baterainya dikenal
awet. Memang awet, tapi harganya pun tidak murah ternyata. Handphone tersebut
hanya bisa diperoleh dengan merogoh kocek Rp 2.500.000. sama dengan penghasilan
kami saat itu.
Demi penampilan, maka
beralihlah handphone tersebut ke tangan kami. Tapi setelah handphone tersebut
ada di rumah, mulai muncul rasa penyesalan, karena harganya yang Rp 2,5 juta.
Apalagi saat itu adalah saat krisis. Dimana nilai tukar dolar yang semula Ro
2.500 menjadi Rp 10.000, bahkan sempat menembus Rp 16.000.
Ada uang ada barang, handphone tersebut setia menemani kami
selama dua tahun, sampai kemudian berpindah tangan ke seseorang yang
membutuhkan. Ya, handphone tersebut jatuh ke tangan pencopet saat suami sedang
naik kendaraan umum. Saat suami menyampaikan hilangnya handphone tersebut,
rasanya badan ini terbang bersama Rp 2,5 juta. Lagi-lagi kami harus merogoh
kocek lagi untuk membeli sang pembawa berita. Walhasil, kembalilah kami ke
handphone second. Rasanya saat itu walau jelek dan batrenya sering ngedrop,
saya masih merasa nyaman dengan handphone second yang murah daripada harus
membeli handphone baru tapi dengan resiko hilang,
Saat itu handhphone masih jadi barang mewah yang jadi
incaran. Berbeda dengan sekarang, dimana telpon genggam sudah menjadi barang
umum yang dimiliki tiap kalangan. Tidak hanya pegawai, bahkan anak-anak TK pun
sudah mengenal handphone.
Ya amppuuun 2,5 juta? Mihil bingiiiiits!
ReplyDeleteAnyway... Makasih ya Mbak udah ikutan GA saya. :))