Aku memandangi hamparan sawah terakhir warisan dari emak yang akan kujual. Dulu emak adalah salah seorang tuan tanah di kampung kami. ...
Aku memandangi hamparan sawah terakhir warisan dari emak yang akan kujual. Dulu emak adalah salah seorang tuan tanah di kampung kami. Kampung penghasil padi terbesar di wilayah Pantura. Setelah emak meninggal, sedikit demi sedikit sawah yang dimiliki kami jual. Banjir dan kekeringan yang kerap menghampiri kampung kami membuat kami merugi. Tahun lalu, untuk menanam padi seluas 1 hektar, kami harus mengeluarkan modal 9 juta rupiah. Sedangkan panen tidak selamanya bagus. Kalau harga sedang bagus, kami bisa menjual gabah hingga seharga Rp 4.500/kg. Tetapi kalau sedang musim hujan, dan panen raya, harga gabah tak jauh berkisar di Rp 2.500/kg. Bahkan, yang katanya akan dibeli 3.700/kg pun saat panen raya dan musim hujan, ternyata mereka enggan.
Sawah ini adalah sawah terakhir. Tinggal 1 hektar yang kami miliki. Sawah yang menjadi sumber mata pencaharian kami, sawah yang menghantarkan aku menjadi diploma mesin. Aku berfikir untuk menggunakan ijasahku. Di kecamatan sebelah, sudah banyak berdiri pabrik, dan dengan ilmu yang kumiliki aku akan bisa menyambung hidup dengan bekerja di pabrik. Aku menggarap sawah ini sepeninggal emak. Dulu emak mengelola sawah ini setelah ditinggal bapak. Emak memang petani tangguh. Yang semula emak menyewa sawah, akhirnya bisa membeli sawah yang ia sewa sedikit demi sedikit, hingga luasnya menyaingi sawah Haji Kardi yang kekayaannya turun temurun. Seingatku, hama padi saat aku kecil tidak seganas ini. Dulu hanya ada hama tikus, dan wereng coklat. Sejak tahun lalu, padi yang ditanam di kampungku terkena zonk atau mejen. Tanaman kerdil, tidak mau tumbuh tinggi, buah pun tidak terbentuk. Padahal berbagai obat-obatan sudah diberikan. Tapi, ternyata masih belum ampuh juga.
Aku memandangi selembar kertas akta jual beli yang akan berpindah tangan. Surat itu adalah surat kepemilikan sawah terakhir yang kami miliki. Seorang pembeli dari Jakarta berminat membeli dengan harga tinggi. Katanya tak jauh dari kampungku akan dibangun pelabuhan. Beberapa tetangga sudah menjualnya. Tetapi masih ada yang tetap bertahan. Bagi mereka, sawah dan padi adalah kehidupan. Kalau lahan di daerah ini habis jadi pabrik, orang Jakarta katanya akan kelaparan. Betulkah? aku tak peduli. Mereka pun tak pernah peduli dengan kehidupan kami. Aku pikir saat ramai kasus beras kemarin mereka pun tak faham apa masalah yang terjadi. Di desa kami setiap bulan penyuluh pertanian selalu menyampaikan target capaian panen padi di setiap musimnya. Masih untung, di desa kami ada penyuluh yang rutin berkunjung. Di desa sebelah, katanya penyuluhnya tidak serajin di desa kami. Walau perempuan dan masih muda, tapi dia sangat membantu para petani di desa kami.
1 jam lagi, surat ini akan berpindah tangan. Aku masih punya rumah dan kebun, mungkin itu yang masih bisa aku pertahankan. Jangan sampai emak menangis di atas sana, melihat kelakukan anak-anaknya yang tidak dapat menjaga hasil peluh dan kegigihannya. Sebagian tanah sudah dijual teteh, karena terjerat bank emok yang berkeliling kampung merayu ibu-ibu untuk meminjam uang. Tak terasa, dari sejuta, teteh pinjam uang hingga 10 juta. Entah untuk apa. Sepertinya teteh tergoda penampilan seperti sinetron. Baju bagus, perhiasan, tas, hingga smartphone. Padahal, sinyal internet di desa kami sangat buruk. Bagaimana bisa dia pakai smartphone tadi. Kalau mau facebookan tetap harus pergi ke kantor kecamatan. Rayuan bank emok itu sangat maut. Buktinya, sampai-sampai harus jual sawah. Padahal, suaminya adalah petani. Kasihan, sekarang menjadi penggarap sawah para spekulan tanah dari Jakarta.
Aku masih punya kesempatan untuk berfikir lagi. Masih ada 1 jam, apakah tanah ini akan kujual, dan kupakai untuk bikin warung seperti tetangga yang lain. Tetapi andaikata sawah ini tak jadi kujual, aku bisa menyelamatkan kehidupan suami teteh. Dia tidak perlu menyewa sawah spekulan tanah itu. Aku pun nanti setelah bosan bekerja masih mungkin akan kembali ke sawah. Saat ini anak muda di kampung kami bisa dihitung jari yang mau bertani. Mereka memilih bekerja di pabrik dengan gaji 3 juta/bulan. UMK di kabupaten kami sudah tinggi. Tapi sebetulnya dengan bertani pun, uang sebesar itu masih bisa kami dapatkan, asal harga padi tidak anjlok atau sawah kami tidak terkena hama.
Aku masih memandangi hamparan sawah terakhir, sawah terakhir yang akan menentukan masa depanku kelak. Haruskah dijual, atau tetap kami pertahankan?
Karawang, 14 Oktober 2017.
bank emok : bank keliling yang menawarkan pinjaman uang secara berkelompok, dengan target ibu-ibu.
COMMENTS