#financialliteracy #mengaturkeuangankeluarga #covid19 #krisisfinancial #cashflow #perencanaankeuangan
Di tulisan kemarin, saya bercerita, bahwa tabungan untuk cadangan harian tidak banyak. Sengaja, memang hanya menyiapkan cash untuk selama 2 pekan. Sisanya disimpan untuk biaya lainnya, termasuk pendidikan anak. Semenjak memiliki usaha sendiri, kami terbiasa memiliki tabungan biaya hidup minimal untuk satu bulan. Jadi kalau ada apa-apa, masih punya cadangan. Tetapi, melihat kondisi covid 19 membuat saya dan suami agak ketar-ketir. Sehingga kami sudah menyampaikan kepada anak-anak untuk melakukan penghematan.
Suatu hari setelah dua pekan di rumah saja, kami sekeluarga berkumpul, suami, saya dan tiga orang anak. Kami menyampaikan kondisi keuangan keluarga, usaha saya, usaha suami, dan kondisi pandemi covid 19. Walau masih ada cadangan, tapi kami tidak mau lengah. Karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Jangan sampai kami merasa semua baik-baik saja, padahal, kondisinya tidak baik-baik saja.
Di rumah, kami memang tidak ada orang lain, termasuk ART. Sudah lebih dari 10 tahun kami tidak punya ART. Jadi kami semua berbagi tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci, memasak, menyampu, mengepel, pokoknya semua kegiatan rumah. Tanpa ART memang ada penghematan, tapi ada biaya lain yang terkadang harus dikeluarkan. Begitu juga saat pandemi covid 19. Saya, suami, dan anak-anak di rumah saja. Sehingga ada biaya yang mungkin bisa dihemat, tapi ada juga biaya yang justru perlu ditingkatkan di masa pandemi covid-19.
Mengatur Biaya Kebutuhan Rumah Tangga
Setiap keluarga punya kebijakan yang berbeda dalam mengatur keuangan keluarga. Ada yang biaya dikelola suami, ada yang dikelola istri, ada juga yang dibagi dua antara suami dan istri. Di keluarga kami, saya ditunjuk sebagai manajer keuangan. Sehingga saya setiap saat harus membuat rencana keuangan tahunan, bulanan, bahkan harian. Alasannya sederhana, suami tidak mau mengurusi. Ya, memang urusannya tektek bengek. Mulai dari bikin alokasi sampai belanja.Saya paling suka posisi kedua, yaitu belanja. Tapi saya juga suka khilaf, makanya urusan keuangan harus ketat.Banyak cara untuk mengelola keuangan keluarga bisa menggunakan rekening, amplop, atau jadwal. Saya menggunakan catatan dan amplop. Apapun metoda yang digunakan, intinya adalah harus ketat dalam penggunaan uang. Sehingga di saat harus ketat kita sudah terbiasa. Sejak memilih berhenti bekerja dan punya usaha sendiri, saya lebih soal uang. Sekali-kali bolehlah untuk menyenangkan diri. Makan di cafe, jalan-jalan di mall, atau pergi ke salon. (Eh, tapi saat pandemi covid 19, tiga kegiatan ini tidak dapat dilakukan ya, hehe).
Tapi ya harus dihitung juga berapa biaya yang digunakan untuk "menyenangkan hati". Jangan sampai uang kita habis untuk bersenang-senang. Maaf, saya pernah khilaf dalam penggunaan uang, dan efeknya menyesal dong. Buat para pembaca sih, jangan sampai ya.....
1. Buat alokasi dana dari yang paling penting hingga tidak begitu penting
Lalu, apa dong yang harus dilakukan supaya kita tidak melakukan salah merencanakan dan mengelola uang. Apalagi saat pendapatan tidak menentu seperti saat pandemi covid-19? Pertama yang harus dilakukan adalah menentukan biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya atau masuk dalam pengeluaran primer. Dilanjutkan hingga biaya-biaya yang tidak terlalu penting atau dapat ditunda.Beberapa pos pengeluaran yang paling penting untuk dialokasikan, diantaranya adalah :
a. Utility (listrik, air, telpon, kuota)
b. Makanan pokok dan lauk pauk
c. Biaya pendidikan anak (untuk yang memiliki anak dan bersekolah)
d. Toiletris (sabun dan sejenisnya)
e. Kost atau sewa rumah
f. Biaya rutin lainnya
g. cicilan
h. Lainnya
Semakin muda usia, maka kelompok biaya hidup yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Setiap bulan seharusnya kita mengetahui berapa pengeluaran uang yang kita butuhkan. Sehingga, kita dapat menentukan berapa uang yang kita butuhkan per bulan. Dengan pola ini, tidak akan ada ungkapan besar pasak daripada tiang, karena kita tahu persis berapa biaya yang dibutuhkan per bulan. Sebagai garis besar, cicilan untuk pinjaman tidak boleh lebih dari 30 % pendapatan. Artinya jika akan merencanakan melakukan pinjaman, maka cicilan yang nantinyaa akan dibayar per bulan, tidak boleh lebih dari 1/3 pendapatan kita. Dalam situasi krisis, kita betul-betul harus mengencangkan ikat pinggang, sehingga tidak berbelanja yang tidak perlu. Walau kadang belanja onlin suka menggoda, tapi untuk beberapa bulan ini, harus kekepin dompet.
2. Siapkan modal dan data asset yang dimiliki
Yakin, kalau harus mencari penghasilan lain? Siap untuk mengatur asset
dan modal yang dimiliki? Berarti sudah menghitung, berapa pendapatan
dari usaha baru yang harus diperoleh. Mari kita mulai. Pada dasarnya,
semua orang memiliki potensi untuk dapat menghasilkan uang, apakah
berasal dari memproduksi barang, menjual jasa, atau menyewakan sarana
yang dimiliki. Seperti contoh, banyak penduduk di desa yang menmiliki
asset dalam bentuk tanah, sawah, kolam, hewan ternak, tetapi karena
pendapatannya terbatas, merasa tidak memiliki uang.
Asset yang berpotensi untuk menghasilkan uang tidak hanya asset dalam
bentuk fisik dan bisa dinilai (tangible asset), tetapi juga asset yang
tidak bisa dinilai (intangible asset). Yang termasuk dalam tangible
asset, adalah : tanah (sawah, ladang, kolam), bangunan, kendaraan, alat
dan mesin (komputer, laptop, handphone, aneka peralatan yang dimiliki).
Intangible asset, antara lain : pengetahuan, keterampilan, jejaring
(koneksi, hubungan pertemanan), dan lainnya.
3. Hitung pendapatan dan potensi pendapatan per bulan
Dalam mengelola keuangan pribadi, sebuah rumus sederhana yang perlu menjadi perhatian, yaitu bahwa pendapatan tidak boleh lebih kecil dari pengeluaran. Pada
saat pendapatan lebih kecil dari pengeluaran, maka akan terjadi
defisit, dimana akan terjadi dua tindakan, yaitu meminjam atau
menjual/gadai barang yang dimiliki. Pada saat menghitung pendapatan,
kita pastinya menghitung terlebih dahulu pendapatan utama, baru kemudian
merancang untuk dapat memperoleh pendapatan sampingan, dengan tidak
mengganggu sumber pendapatan utama. Kondisi ini sebaiknya diterapkan apalagi saat krisis seperti ini.
4. Modal usaha, sebaiknya dari mana?
Secara keuangan tidak ada larangan dalam berhutang, selama kita dapat
membayar hutang atau pinjaman. Tapi dalam situasi saat ini ada baiknya
untuk tidak mengambil hutang baru. Ah Ceu, mana mungkin buka usaha tanpa
meminjam? Sekarang giliran saya yang mau bertanya. Memang yakin, uang
pinjaman dapat membuat bisnis kita berhasil?
Dalam situasi seperti ini, saya sih menyarankan untuk menjalankan bisnis tanpa hutang, kalau bisa dengan modal seminimal mungkin. Tidak percaya? modal yang saya keluarkan pertama kali untuk usaha bulan lalu adalah sebesar,,,,,, Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Tidak percaya? seperti dalam tulisan sebelumnya, kalau modal usaha yang digunakan adalah untuk membuat sample foto. Lalu foto diupload di status wa dan facebook, lalu datanglah pesanan. Trus buat bikin pesanan, ya, dp dari calon konsumen lah. Dengan cara ini, alhamdulillah, bisa menjalankan Ramadhan dengan khusyu bahkan bisa berzakat pula.
Dalam situasi seperti ini, bisnis menjadi andalan kita untuk mendapat penghasilan harian. jangan lihat recehannya, tapi lihat seberapa mungkin bisnis yang dijalankan itu dapat membantu kondisi ekonomi kita.
Dalam situasi seperti ini, saya sih menyarankan untuk menjalankan bisnis tanpa hutang, kalau bisa dengan modal seminimal mungkin. Tidak percaya? modal yang saya keluarkan pertama kali untuk usaha bulan lalu adalah sebesar,,,,,, Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Tidak percaya? seperti dalam tulisan sebelumnya, kalau modal usaha yang digunakan adalah untuk membuat sample foto. Lalu foto diupload di status wa dan facebook, lalu datanglah pesanan. Trus buat bikin pesanan, ya, dp dari calon konsumen lah. Dengan cara ini, alhamdulillah, bisa menjalankan Ramadhan dengan khusyu bahkan bisa berzakat pula.
Dalam situasi seperti ini, bisnis menjadi andalan kita untuk mendapat penghasilan harian. jangan lihat recehannya, tapi lihat seberapa mungkin bisnis yang dijalankan itu dapat membantu kondisi ekonomi kita.
5. Menabung
Duh, masih krisis pakai nabung pula. Iya, kita memang dalam kondisi
sulit, tapi percayalah, tidak ada orang yang miskin karena menabung.
Menabungnya ya tidak harus besar. Pernahkah percaya ungkapan the power
of 1 USD? Misalnya dari pendapatan kita setiap hari, kita sisihkan Rp
10-20 ribu. Apa artinya berkurang Rp 10-20 ribu, tapi di akhir bulan,
anda akan mendapat Rp 300-600 rb, mendapat uang sebesar itu serasa dapat
harta tak terduga.Tidak percaya, coba deh. Sisihkan uang Rp 10-20 ribu per hari, lalu kumpulkan selama satu tahun. Uang tersebut akan menjadi penyelamat kita. Di saat ini, bukan jamannya lagi tampil gaya dari hutang. Semua orang krisis kok. Sudah krisis tanpa berhutang itu sudah bagus. Tidak ada debt collector,yakinlah anda akan tidur nyenyak di malam hari, tanpa kekhawatiran dikejar hutang.
6. Berbagi Pada Sesama
Berbagi saat sempit, duh, tips apa lagi ini. Eit, jangan salah. Bersadakah saat sulit itu lebih mulia daripada sadakah saat banyak uang. Orang banyak uang, bersadakah itu sudah biasa. Tapi dalam saat sulit kita bersadakah itu luar biasa. Bisa melihat orang lain tertawa bahagia, di saat kita juga dalam keterbatasan. Jika ikhlas, rasakan kebahagiaannya. Lupakan semua yang sudah dilakukan, dan biarkan Yang Maha Kuasa memainkan perannya.Dalam situasi sulit, kita harus mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Tidak hanya banyak beribadah, tetapi juga menyayangi mahluknya. Salah satunya dengan bersedekah. Kita tidak tahu bisa jadi karena doa orang yang kita beri, maka kita bisa bertahan dalam krisis. Diberikan kesehatan, kelancaran dalam usaha, masih bisa makan, bisa beribadah, bisa tertawa dengan keluarga. Kebahagiaan seperti apa lagi yang ingin dicari?
Yakin sudah siap untuk buka usaha di rumah? Saatnya masuk tahap berikutnya, yaitu menyiapkan mental.
Keren tulisannya .. Detil banget
ReplyDeleteKerem tulisannya. Detil banget
ReplyDeleteWah tips yg sangat bermanfaat. Jadi mengingatkan pada salah satu event menulis antologi yg diselenggarakan PJ saya.
ReplyDelete