Namaku Cahya, nama panggilan yang biasa ku terima sejak masih kecil. Kedua orang tuaku memberiku nama Pintu Cahaya. Aku diharapkan menja...
Namaku Cahya, nama panggilan yang biasa ku terima sejak masih kecil. Kedua orang tuaku memberiku nama Pintu Cahaya. Aku diharapkan menjadi penerang, pembuk harapan, contoh baik untuk adik-adikku kelak. Aku anak pertama dari 4 bersaudara. Pada bulan Juni tahun ini usiaku 45 tahun. Aku seorang perempuan menikah, dengan 3 orang anak, ditambah 2 ekor kucing tetangga yang sekarang lebih senang tinggal di rumah kami
Kehidupanku saat ini baik-baik saja menurutku. Tidak punya masalah? Ah, semua orang punya masalah, tunggu ya. Saat ini kami tinggal di sebuah rumah yang cicilannya sudah lunas. Rumah di atas tanah seluas 100 m2, dengan halaman kecil yang ditumbuhi sebuah pohon sirsak yang berbuah cukup lebat dan beberapa tanaman lainnya. Jangan bayangkan rumah mewah. Dibandingkan tetangga kami, rumah kami bisa dikatakan sangat sederhana. Tidak ada barang yang terlalu mewah, semua sangat biasa. Selain mengurus rumah, aku punya aktivitas yang bisa menutupi kebutuhan rumah tangga.
Hidup di kota dengan tiga orang anak saat ini tidaklah murah. Bagi anda para urbanner tentunya tahu, saat ini semua kebutuhan serba mahal. Beras mahal, lauk-pauk mahal, ditambah biaya lainnya. Perawatan wajah? Untuk biaya harian saja sudah lumayan, apalagi harus perawatan. Tinggal di kota membuatku harus menjadi setrong woman. Tanpa ART, masak sendiri, cari penghasilan tambahan, ikut pelatihan gratis, nabung, tanam sayur, apapun dilakukan.
Sudah bukan jamannya lagi jadi perempuan cengeng yang hanya tunggu uang gaji dari suami. Saat penghasilan tak sesuai dengan kebutuhan lalu marah-marah minta suami untuk cari tambahan, no way. Bagi kalian mungkin aku aneh, anoyying, freak or something. Maybe but i must strong for me, my kids, my family.Saya pernah dalam situasi sangat sulit dan berakhir pada sakit. Sakit yang panjang yang membuatku hampir putus asa, enggan melakukan apapun. Hanya tidur, menangis, meratapi nasib, menyalahkan takdir. Sampai melihat anakku yang duduk di samping tempat tidur, dan memandangiku. Whats wrong with me? I have to weak up. There is a litle girl who needs me. Kita tidak dapat bangkit hanya dengan meratapi nasib. Aku lalu duduk, memandang sesosok wajah di depan cermin. Wajah seorang perempuan muda yang tampak lusuh, kepedihan tampak di wajahnya, dengan tatapan kosong, garis bibir datar. Inikah aku, seorang Cahya yang dulu sangat bersemangat, energik, aktivis organisasi, kemana cahayamu? Ada seorang gadis kecil yang membutuhkan kasih sayangmu, ketegasanmu, kekuatanmu untuk tumbuh menjadi perempuan kuat.
COMMENTS