Ah, mengingat ibu, adalah mengingat semua hal yang menginspirasi saya sejak kecil. Cerita beliau mengikuti program di RRI saat SD, ke...
Ah, mengingat ibu,
adalah mengingat semua hal yang menginspirasi saya sejak kecil. Cerita beliau
mengikuti program di RRI saat SD, kegiatan Pramuka, kisah masa penjajahan
Jepang, terpilihnya beliau saat program pertukaran pelajar di Amerika (AFS)
saat lulus SMA, demonstrasi saat beliau aktif di KOHATI tahun 1965, hingga
menjadi staf MPR saat gedung merdeka menjadi gedung DPR sebelum pindah ke
Jakarta. Tapi yang terutama adalah perjuangan beliau membawa kami berempat
menjadi sarjana semenjak ayah meninggal.
Ibuku seorang aktivis, bukan saja masa beliau muda, tapi
hingga hari ini, saat usianya sudah menginjak 74 tahun. Sewaktu kecil, setiap
malam, ibu selalu bercerita tentang berbagai hal menarik semasa beliau muda. Ibu
lahir di Bandung, pada bulan April 1941, sebelum Indonesia Merdeka. Dari cerita
beliau, sampai tahun 1945 keluarga kakek kami mengungsi ke Tasikmalaya, karena
Kakek dan Kakak ibu yang laki-laki bergabung dalam laskar Hisbullah.
Ibu lahir dari pasangan KH Hidayat, Penghulu Bandung, Imam
Pertama Mesjid Agung dan Ibu Hj Siti Maemunah. Saat ibu lahir, keluarga kakek tinggal
di Jl Nurkiman, sebuah rumah yang dibangun bersebelahan dengan masjid jami
tempat kakek mengajar, setelah beliau meninggalkan pesantrennya di Cikoneng Ciamis. Ibu lahir sebagai anak ke-10 dari 13 bersaudara, dan
saat ini tinggal dua orang yang masih hidup, ibu dan seorang kakak perempuannya.
Saat masuk usia SD, ibu bersekolah di SD Mohamad Toha, yang
jaraknya hanya 100 m dari rumah, dan selesai menamatkan pendidikan di SD, ibuku
melanjutkan pendidikan di SMPN 3 Bandung yang terletak di Jl Dewi Sartika. Saat
SD dan SMP ibu sudah aktif di Pramuka, dan selain bersekolah dan di Pramuka,
ibu juga aktif di Tarka RW 04 dan mengajar ngaji pada anak-anak di Mesjid.
Selepas SMP , ibu melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Bandung,
yang terletak di Jl. Ir H Juanda. Selepas kelas 3, ibu mendaftar program pertukaran
mahasiswa ke Amerika Serikat dan beliau terpilih menjadi salah satu peserta.
Selama satu tahun, beliau menetap di negeri Paman Sam. Sepulang dari Amerika,
kakek ternyata sudah mendaftarkan ibu untuk kuliah di Jurusan Sastra Inggris
Universitas Padjadjaran, dan ibu pun kuliah disana.
Selama kuliah, ibu aktif di dua organisasi, yaitu Daya
Mahasiswa Sunda (Damas) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saat disana, ibu
yang dikenal dengan panggilan Ceu Aah, terpilih menjadi ketua Kohati. Bukan ibu
sepertinya kalau tidak berkegiatan, berbagai aktivitas lain pun diikuti,
diantaranya menjadi staf MPR di Gedung Merdeka.
Tahun 1971 ibu menikah dengan bapak, yang sama-sama mengajar
di IAIN (begitu katanya). Setahun kemudian aku
lahir sebagai anak pertama. Selepas menikah ibu berhenti bekerja, tapi, tetap
aktif mulai dari pengurus di RT, RW hingga Kelurahan dan Kecamatan. Sebagai
istri dokter, ibu pun aktif di organisasi Ikatan istri Dokter Indonesia. Apakah
kami anak-anaknya terlantar? Sama sekali tidak. Ibu pandai memasak, pandai
menjahit, pandai membuat ketrampilan, dan disukai oleh teman-temanku. Saat kegiatan
17 Agustus, ibu menjadi sutradara pementasan drama, dan juri berbagai
perlombaan. Dimana beliau berada, suasana selalu meriah.
Hal yang tak pernah dilupakan adalah saat ibu menjadi ketua
yayasan Budi Wanita, setiap pulang sekolah, kantornya menjadi rumah kedua
bagiku. Melihatnya berpidato, menjadi MC, mengajar menjadi inspirasi tanpa disadari.
Energinya seolah tak pernah habis, urusan rumah, organisasi, semua tertangani.
Bahkan pernah suatu ketika saat jalan raya di dekat rumah kami rusak, beliau
menjadi ketua pembangunan jalan, di saat para bapak tidak ada yang bersedia.
Ibuku memang super woman, saat ayah meninggal waktu umurku
19 tahun dan memiliki tiga orang adik, ibu menjadi tulang punggung keluarga.
Tanpa malu beliau membawa dagangan untuk menambah penghasilan. Sulit memang
mencari pekerjaan pada usia yang sudah tak muda lagi. Berkat jerih payahnya,
kami berempat lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri. Hampir tidak pernah aku
melihatnya menangis, tapi tak jarang beliau bersujud saat malam hingga subuh.
Ketika divonis terkena Hepatitis C, semangat hidupnya terus
tinggi. Terapi yang serupa dengan chemo beliau jalani, tak pernah ada teriakan
atau keluhan dari bibirnya. Saat sakit, hanya lafaz Allah yang dialunkan. Bukan
hanya hepatitis C, syaraf kejepit pernah membuat ibu harus berbaring lebih dari
6 bulan. Tapi beliau memang luar biasa, pantang menyerah untuk dapat sembuh.
Kini ibu aktif di Pusat Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak Kota Bandung. Beliau aktif sebagai konselor sejak lembaga tersebut
berdiri. Jangan tanya apakah beliau lelah, mungkin iya, tapi itu lah dunianya.
Aktif di lembaga dakwah, menangani 2 majlis taklim, dan pengawas Yayasan Budi
Wanita tidak ditinggalnya hingga sekarang. Sering kami anak-anaknya menyarankan
beliau beristrirahat, tapi beliau enggan.”Kalau istirahat, ibu jadi sakit”.
Ujar Ibu. Tak mau kalah dari kami, ibu melanjutkan pendidikan di STIA. Gelar sarjana dengan predikat Cum Laude, diperolehnya. Saya sendiri, tidak dapat nilai setinggi itu. "Contoh buat cucu," Katanya.
Usia ibu memang tidak muda lagi, tapi hasil karyanya tak
akan dilupakan baik oleh kami anak-anaknya, dan siapapun yang mengenal beliau
sejak muda. Selamat hari ibu, mohon maaf, kalau kami masih belum dapat
memberikan yang terbaik. Sosokmu sangat sulit untuk ditiru, guru bagi semua
yang mengenalmu. Dia adalah Siti Ahadiat Bakir atau Bu Aah,
dia adalah ibuku.
I LOVE YOU UMI
Ciganitri, 21 Desember 2015
#ALUMNI_SEKOLAHPEREMPUAN
#ALUMNI_SEKOLAHPEREMPUAN
kalau hari ibu ini biasanya akan banyak ungkapan rasa sayang untuk ibu :)
ReplyDeleteIya Mbak myra anastasia. Ini juga karena tugas dari sekolah perempuan. Tapi, jafi kepikiran juga pas nulis, belum pernah buat ulasan tentang beliau. Dipaksa untuk mengingat jasanya, tapi tidak bakal dapat dituliskan semua. Jadi novel pun mungkin tidak cukup.
ReplyDeleteTerima kadih sudah betkunjung. Salam untuk keluarga.