Hari ini saya menghadiri silaturahmi Kahmi-Kohati angkatan 60-an. Perkumpulan alumni sebuah organisasi kemahasiswaan yang diikuti oleh ibu d...
Hari ini saya menghadiri silaturahmi Kahmi-Kohati angkatan 60-an. Perkumpulan alumni sebuah organisasi kemahasiswaan yang diikuti oleh ibu dan uwa saya. Acaranya biasa saja, sama seperti acara silaturahmi pada umumnya, akan tetapi dalam pertemuan tersebut, saya memperoleh sebuah pembelajaran yang luar biasa.
Belajarlah pada yang lebih sepuh, seringkali yang kita peroleh adalah wejangan-wejangan yang penuh kebijaksanaan, dan itu pula yang saya peroleh hari ini. Sebuah pembelajaran mengenai pola hubungan yang berbeda antara generasi 60-an dengan generasi selanjutnya. Saya yang lahir di era 70-an, atau termasuk dalam angkatan 90-an, merupakan generasi yang sedang dalam puncak karir. Beberapa teman, sekarang sudah mulai menduduki jabatan penting, baik di perusahaan swasta, perguruan tinggi maupun lembaga pemerintahan.
Apa yang berbeda dengan silaturahmi yang berlangsung pada angkatan 60-an dengan reuni yang beberapa waktu lalu terjadi pada angkatan saya. Pada hari ini cerita yang tersuguhkan adalah nostalgia masa lalu, serta harapan yang masih akan mungkin dapat dilaksanakan di masa depan. Mengapa saya memasukkan kata mungkin, karena beberapa rekan ibu saya termasuk ayah saya, telah berpulang ke rahmatullah. Sehingga cerita yang tadi banyak disampaikan adalah berita mengenai rekan-rekan yang sakit, baru sembuh dari sakit maupun yang telah berpulang. Tidak ada sedikitpun cerita mengenai hal-hal yang bersifat kebendaan seperti yang banyak disajikan di masa ini, seperti banyaknya harta, jabatan, serta hal-hal kebendaan lainnya.
Satu ungkapan yang terlontar dari Pak Pamudji Rahardjo, saat menyampaikan ceramah pada pertemuan tadi, bahwa esensi dari silaturahmi yang mereka lakukan adalah dilandasi asas persaudaraan dan bukan asas kepentingan. Sekilas tampak sederhana, tapi bagi saya, rasanya wajah ini tertampar. Kalau boleh jujur, berapa seringkah kita menghubungi saudara, kerabat atau rekan atas asas silaturahmi? Sekedar bertanya atau lebih jauh saling berkunjung? Rasanya sangat jarang. Hampir sebagian besar hubungan komunikasi yang dilaksanakan di era sosial media ini dilandasi kepentingan. Entah kepentingan pekerjaan, kepentingan bisnis, kepentingan hobi ataupun kepentingan lainnya
Entahlah, masih berapa banyak manusia yang saat ini berinteraksi tanpa kepentingan. Sudah sedemikian rapuhkah hubungan persaudaraan maupun pertemanan? Terlalu banyak embel-embel dalam interaksi kita saat ini. Sehingga jika dalam sebuah reuni seorang teman enggan karena tidak dapat menyajikan kebanggaan duniawi dalam bentuk penampilan, harta, maupun jabatan, maka dimanakah esensi reuni itu?
Menghadiri silaturahmi hari ini, saya belajar kembali mengenai kemurnian sebuah persahabatan yang mungkin entah masih ada atau tidak saat ini. Mungkin saat ini, pikiran saya sudah demikian terbelenggu dengan berbagai embel-embel dan kepentingan, atau mungkin memang hal ini menjadi sebuah kelaziman. Semoga kemanusiaan saya bisa tetap ada walau tanpa berbagai embel-embel yang mungkin melekat. Setidaknya, melalui silaturahmi hari ini saya masih diingatkan bahwa sebuah persahabatan itu masih ada, seperti persahabatan antara ibu, uwa, dan rekan-rekan di masa mereka kuliah dulu, 50 tahun yang lalu.
Belajarlah pada yang lebih sepuh, seringkali yang kita peroleh adalah wejangan-wejangan yang penuh kebijaksanaan, dan itu pula yang saya peroleh hari ini. Sebuah pembelajaran mengenai pola hubungan yang berbeda antara generasi 60-an dengan generasi selanjutnya. Saya yang lahir di era 70-an, atau termasuk dalam angkatan 90-an, merupakan generasi yang sedang dalam puncak karir. Beberapa teman, sekarang sudah mulai menduduki jabatan penting, baik di perusahaan swasta, perguruan tinggi maupun lembaga pemerintahan.
Apa yang berbeda dengan silaturahmi yang berlangsung pada angkatan 60-an dengan reuni yang beberapa waktu lalu terjadi pada angkatan saya. Pada hari ini cerita yang tersuguhkan adalah nostalgia masa lalu, serta harapan yang masih akan mungkin dapat dilaksanakan di masa depan. Mengapa saya memasukkan kata mungkin, karena beberapa rekan ibu saya termasuk ayah saya, telah berpulang ke rahmatullah. Sehingga cerita yang tadi banyak disampaikan adalah berita mengenai rekan-rekan yang sakit, baru sembuh dari sakit maupun yang telah berpulang. Tidak ada sedikitpun cerita mengenai hal-hal yang bersifat kebendaan seperti yang banyak disajikan di masa ini, seperti banyaknya harta, jabatan, serta hal-hal kebendaan lainnya.
Satu ungkapan yang terlontar dari Pak Pamudji Rahardjo, saat menyampaikan ceramah pada pertemuan tadi, bahwa esensi dari silaturahmi yang mereka lakukan adalah dilandasi asas persaudaraan dan bukan asas kepentingan. Sekilas tampak sederhana, tapi bagi saya, rasanya wajah ini tertampar. Kalau boleh jujur, berapa seringkah kita menghubungi saudara, kerabat atau rekan atas asas silaturahmi? Sekedar bertanya atau lebih jauh saling berkunjung? Rasanya sangat jarang. Hampir sebagian besar hubungan komunikasi yang dilaksanakan di era sosial media ini dilandasi kepentingan. Entah kepentingan pekerjaan, kepentingan bisnis, kepentingan hobi ataupun kepentingan lainnya
Entahlah, masih berapa banyak manusia yang saat ini berinteraksi tanpa kepentingan. Sudah sedemikian rapuhkah hubungan persaudaraan maupun pertemanan? Terlalu banyak embel-embel dalam interaksi kita saat ini. Sehingga jika dalam sebuah reuni seorang teman enggan karena tidak dapat menyajikan kebanggaan duniawi dalam bentuk penampilan, harta, maupun jabatan, maka dimanakah esensi reuni itu?
Menghadiri silaturahmi hari ini, saya belajar kembali mengenai kemurnian sebuah persahabatan yang mungkin entah masih ada atau tidak saat ini. Mungkin saat ini, pikiran saya sudah demikian terbelenggu dengan berbagai embel-embel dan kepentingan, atau mungkin memang hal ini menjadi sebuah kelaziman. Semoga kemanusiaan saya bisa tetap ada walau tanpa berbagai embel-embel yang mungkin melekat. Setidaknya, melalui silaturahmi hari ini saya masih diingatkan bahwa sebuah persahabatan itu masih ada, seperti persahabatan antara ibu, uwa, dan rekan-rekan di masa mereka kuliah dulu, 50 tahun yang lalu.
COMMENTS